Bagaimana Wanita Tidak Bernilai di Negeri Ini

"Wanita selalu benar"

Ya kata orang wanita selalu benar. Namun mengapa saat dihadapkan dengan segala aturan hukum di negeri ini wanita menjadi selalu salah dan tempatnya dosa?

Baru-baru ini para anggota dewan sedang gencar-gencarnya membuat RKUHP atau Rancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perihal aborsi. Ya aborsi selalu menjadi topik hangat di masyarakat +62 karena mayoritas penduduk di Indonesia ini merupakan umat beragama Islam. Islam sendiri melarang keras aborsi karena termasuk menghilangkan nyawa orang lain, yang dimana menghilangkan nyawa seseorang merupakan dosa yang besar. Suara mayoritas masih menjadi lagu lama Indonesia untuk menetapkan peraturan serta hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Padahal tidak semua warga negara Indonesia merupakan Islam. Hal itu juga yang mendasari mengapa isi RKUHP Aborsi ini menjadi sangat kontroversial, pasalnya mereka masih membawa dan mempertimbangkan dari sisi agama tertentu. 

Tidak hanya persoalan agama pula yang menjadi pasal ini menjadi kontroversial. Pasal ini juga dapat menimbulkan penindasan bagi wanita, misalnya korban perkosaan yang melakukan aborsi. Dalam sebuah RKUHP Pasal 470 tertulis bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta bantuan orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun. Pasal tersebut tidak menyebutkan pengecualian untuk korban perkosaan maupun alasan medis, walau hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan tahun 2019. 

Mungkin revisi masih akan dilakukan untuk pengeculian alasan medis, namun untuk korban perkosaan? Tidak ada pengecualian untuk wanita korban perkosaan. Pada pasal inilah wanita dengan status korban perkosaan rentan menjadi korban diskriminasi. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75 larangan aborsi dikecualikan untuk alasan kesehatan bagi korban perkosaan karena dapat mengakibatkan trauma psikologis bagi korban. RKUHP ini menjadi bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah berlaku. 

Meski begitu pengecualian bagi korban perkosaan masih bisa ditoleransi, namun dengan limit waktu janin 40 hari. Limit 40 hari lagi-lagi merupakan paham agama tertentu yang lagi-lagi membuat pasal ini tidak dinamis dan tidak dapat mencakup seluruh warga negara. Padahal rata-rata wanita korban perkosaan di Indonesia mengetahui kehamilannya diatas 40 hari. Tentu hal tersebut tidaklah adil bagi mereka. 

Korban perkosaan jarang berani mengungkapkan apa yang telah terjadi kepada dirinya, karena trauma dan takut akan diskriminasi yang akan diterima. Disini wanita dengan status korban perkosaan menjadi serba salah, bingung memilih pilihan yang pada akhirnya sama-sama menjerumuskan mereka ke dalam diskriminasi. Kedua opsi untuk jujur atau aborsi di Indonesia bukanlah pilihan yang bijak. Masyarakat masih menjadi sok hakim terhadap perilaku setiap orang, padahal tidak ada yang berhak untuk menghakimi orang lain dengan cara seperti itu, apalagi korban perkosaan. Korban perkosaan bukanlah sekedar masalah membawa aib, namun itu semua tentang trauma psikologis. Trauma yang didapat dari pelaku perkosaan dan ditambah lagi dengan trauma diskriminasi oleh orang-orang disekitarnya. 

Dalam RKUHP ini rasanya wanita tidak dihargai sama sekali, tidak ada opsi bagi wanita terutama wanita korban perkosaan untuk dapat dipandang sejajar denga pria. Katanya zaman sekarang sudah tidak ada lagi penindasan gender, sudah setara antara laki-laki dan perempuan. Namun adanya RKUHP ini menjadi bukti bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang tidak memandang wanita sama dengan pria. Padahal mereka merupakan kaum-kaum terdidik dan terpelajar. Kaum-kaum terhormat, yang diharapkan oleh rakyat. Kesetaraan gender tidak ada jika begini caranya. 

Bukan pula patokan agama tertentu untuk dapat menetapkan sebuah Undang-Undang. Negara Indonesia sampai kapanpun juga tetap menjadi Bhineka Tunggal Ika. Rasanya tidak pantas jika hanya mempertimbangkan dari sisi satu agama saja. Bukan berarti jika agama tersebut mayoritas, lantas pertimbangan dalam pembuatan Undang-Undang menjadi berpatokan pada hukum agama tersebut. Memang sifat hukum adalah memaksa, namun dalam konteks ini dinamis dan dapat disesuaikan menjadi poin penting. Tidak perlu membawa aturan-aturan suatu agama tertentu yang nantinya dapat menimbulkan perpecahan dan perbedaan.

Komentar

Postingan Populer